Studio 21 Thamrin: Bioskop yang Mengawali Kejayaan 21Cineplex (XXI)
Pada zaman sekarang, konsep bioskop dengan lima atau bahkan belasan layar merupakan hal yang lumrah untuk ditemui. Kilas balik ke era 60-70an, hal tersebut sangat jarang ditemui di Indonesia. Kebanyakan bioskop hadir dengan 1 atau 2 layar dengan kapasitas besar. Banyak di antaranya memiliki kapasitas diatas 500, layaknya teater musikal.
Semuanya Berubah ketika Twenty One Datang
Sebelum kehadiran Cinema 21, konsep cineplex (bioskop dengan beberapa ruang/layar) sebenarnya sudah diperkenalkan pada 1986.[1] Kala itu, pengelola bioskop Kartika Chandra (sekarang Hollywood XXI) didekati Sudwikatmono (sepupu Presiden Soeharto). Mereka akhirnya menyepakati kerja sama untuk membagi ruang bioskop yang besar menjadi 3 ruang yang lebih kecil.
Bioskop Kartika Chandra - Sumber: Majalah Jakarta-Jakarta |
Tujuan pemecahan ruang bioskop sebenarnya sederhana, agar film yang diputar bisa lebih bervariasi. Dengan begitu, penonton bisa lebih mudah memilih jadwal film yang cocok (karena satu film juga bisa diputar di lebih dari 1 studio). Setelah dicoba, ternyata eksperimen dengan konsep cineplex berhasil membawa banyak penonton bagi bioskop Kartika Chandra.
Meski begitu, merek dagang 21 (dibaca Twenty One) baru diperkenalkan pada Agustus 1987, ketika Sudwikatmono dan partner bisnisnya, Benny Suherman (lewat Subentra) mendirikan bangunan Studio 21 di Jalan M.H. Thamrin Kav. 21, Jakarta Pusat.[2] Menurut wawancara majalah Editor dengan Sudwikatmono, nama Twenty One memang diambil dari nama kavling bioskop tersebut.[3]
Bagian depan Studio 21 pada akhir dekade 1980 - Sumber: Majalah Jakarta - Jakarta |
Bioskop yang terletak di pusat kota ini mencoba menonjolkan dirinya dengan penggunaan poster film di dinding luar serta signage neon bertemakan merah dan biru yang menyala terang pada malam hari.
Foto versi berwarna - Sumber: Ilham Soenharjo/Majalah Jakarta - Jakarta |
Selain itu, bioskop ini juga mencoba menawarkan pengalaman yang spesial dan mewah (paling tidak untuk masa itu) dengan pelayanan, fasilitas, dan gerai retail penunjang untuk memanjakan penonton yang datang.
Bioskop yang didirikan pada lahan seluas 5.000 m2 ini terdiri dari 4 studio dengan kapasitas masing-masing studio sebanyak 250 kursi penonton.[4] Semua studio yang ada dilengkapi dengan teknologi tata suara Dolby Stereo. Dengan begitu, penonton bisa memberikan pengalaman suara dari kanan dan kiri.
Berdasarkan temuan, harga tiket pada Agustus 1987 adalah Rp7.500 (menurut inflationtool.com, setara dengan Rp117.000 pada 2022).[5] Harga ini tentu tidak terjangkau, apalagi dibandingkan dengan jasa sewa video (VHS dan kawan-kawannya) yang saat itu berkisar pada harga Rp1.000.
Studio 21 didesain dengan beberapa detail remeh yang memberi kesan spesial. Misalnya, keberadaan karpet merah di depan pintu masuk studio dan tempat pembelian tiket, penggunaan kursi yang lebih empuk, keberadaan pendingin ruangan serta pewangi yang menjadikannya sebagai pilihan utama kalangan atas.
Area ticketing Studio 21 Thamrin - Sumber: Majalah Jakarta - Jakarta |
Untuk memasuki studio, penonton masuk melewati pintu dan menaiki tangga dengan lampu merah sebelum untuk masuk ke (bagian tengah) studio.
Studio 21 Thamrin juga dilengkapi dengan gerai penunjang untuk menambah daya tarik. Salah satu di antaranya adalah restoran Bakmi Gajah Mada (Bakmi GM). Cabang ke-3 restoran bakmi ini hadir di lantai dasar bangunan. Selain itu, terdapat juga Bank Internasional Subentra, serta service center untuk produk elektronik National & Panasonic.
Dalam wawancara yang kala itu dilakukan dengan Tempo, Sudwikatmono menyampaikan rasa optimisnya terkait masa depan Studio 21. Terbukti, bioskop ini sukses menggaet penonton, terutama dari kalangan elit. Memang, biaya investasi untuk bioskop ini juga tergolong besar, yakni sekitar Rp4 miliar (senilai Rp 42 milliar pada 2022).
Ketika membuka Studio 21 Thamrin, Sudwikatmono juga memegang kepemilikan di bioskop Golden Theatre Kebayoran Baru dan Glodok Theatre di daerah pecinan Kota.[6]
Kesuksesan bioskop ini akhirnya mendorong Sudwikatmono untuk mendirikan jaringan bioskop 21. Hal ini dilakukan dengan membuka cabang baru dan mengambil-alih bioskop sekarat seperti Megaria (kemudian diubah menjadi Metropole 21) dan Djakarta Theater.
The end of the beginning...
Setelah berdiri beberapa tahun, gedung bioskop ini akhirnya dijual pada tahun 1991 kepada Grup Sinarmas. Oleh karena itu, bangunan bioskop ini diruntuhkan dan dibangun perkantoran Sinarmas Land Plaza Tower.[7]
Meski bangunan bioskop legendaris ini sudah tiada, nama 21 atau XXI tetap berkibar dan bertahan sebagai jaringan bioskop terbesar di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi monopoli usaha (sekaligus 'membunuh' bioskop independen), tidak dapat dimungkiri bahwa keberhasilan 21 juga tidak terlepas dari keahlian manajemennya dalam meracik konsep yang menarik.
Apakah kalian atau keluarga kalian memiliki pengalaman menarik di bioskop ini?
Baca juga: Artikel Perjalanan dan Jejak Sejarah XXI
REFERENSI
[1] - Barker, Thomas. (2019). Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream. Hal. 146. Hong Kong: Hong Kong University Press.
[2], [5], [6] - Tempo. (1987, Oktober). Mini Mahal. Majalah Tempo. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/32642/mini-mahal
[3] - Gaban, F. (1989, Agustus). Godfather dengan Sejumlah Bisnis. Majalah Editor.
[4] - Hadad, T, dkk. (1991). Zaman Keemasan Kelompok 21. Majalah Tempo. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/film/14415/zaman-keemasan-kelompok-21
[7] - Majalah Tempo. (1991). Dari Subentra ke Eka Tjipta. Majalah Tempo. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/bisnis-sepekan/14919/dari-subentra-ke-eka-tjipta
Komentar
Posting Komentar