Studio 21 Thamrin: Bioskop yang Mengawali Kejayaan 21Cineplex

Konsep cineplex (bioskop dengan beberapa ruang/layar) di Indonesia memang bukan barang baru. Mengingat konsep ini sebenarnya sudah hadir sejak 1986, atau sebelum kehadiran Studio 21 yang dibahas di sini.[1] Ketika itu, bioskop Kartika Chandra (KC) didekati Sudwikatmono (sepupu mantan presiden Soeharto) dan menyepakati kerja sama untuk membagi ruang bioskop yang besar menjadi 3 ruang yang lebih kecil.

Bioskop Kartika Chandra - Sumber: Majalah Jakarta-Jakarta

Tujuan pemecahan ruang bioskop sebenarnya sederhana, agar film yang diputar bisa lebih bervariasi. Selain itu, diharapkan penonton juga bisa lebih mudah memilih jadwal film yang cocok (karena satu film bisa diputar di lebih dari 1 studio). Setelah dicoba, ternyata eksperimen dengan konsep cineplex berhasil membawa banyak penonton bagi bioskop KC. 

Meski begitu, merek dagang '21' baru diperkenalkan pada Agustus 1987, ketika Sudwikatmono dan partner bisnisnya, Benny Suherman (lewat Subentra) mendirikan bangunan Studio 21 di Jalan M.H. Thamrin Kav. 21, Jakarta Pusat.[2]

Bagian depan Studio 21 pada akhir dekade 1980 - Sumber: Majalah Jakarta - Jakarta

Bioskop yang berlokasi di kawasan pusat kota ini mencoba menonjolkan dirinya lewat penggunaan poster film di dinding luar, serta signage neon Studio Studio 21 (dibaca Twenty One) yang menyala terang pada malam hari.

Selain itu, bioskop ini juga mencoba menawarkan pengalaman yang spesial dan mewah (paling tidak untuk masa itu) dengan pelayanan, fasilitas, dan tenant penunjang untuk memanjakan penonton yang datang. Tidak cukup dengan itu, Studio 21 juga memberi beberapa detail remeh yang menarik dan memberi kesan spesial. Misalnya, keberadaan karpet merah di depan pintu masuk studio dan tempat pembelian tiket, penggunaan kursi yang lebih empuk, pendingin ruangan serta pewangi yang memberi suasana berbeda dibanding bioskop lain. 

Tercatat harga tiket pada bulan Agustus 1987 adalah Rp7.500 (menurut inflationtool.com, setara dengan Rp 117.000 pada 2022).[3] Harga ini tentu tergolong tidak terjangkau, apalagi dibandingkan dengan jasa sewa video (VHS dan kawan-kawannya) yang berkisar pada harga Rp1.000 pada saat itu. Dalam wawancara yang dilakukan dengan Tempo kala itu, Sudwikatmono optimis dengan keputusannya untuk membuka bioskop cineplex dengan nama 21 ini. Terbukti, bioskop ini sukses menggaet penonton, terutama dari kalangan elit. Memang, biaya investasi untuk bioskop ini juga tergolong besar, yakni sekitar Rp 4 miliar (senilai Rp 42 milliar pada 2022).

Area ticketing Studio 21 Thamrin - Sumber: Majalah Jakarta - Jakarta

Bioskop yang didirikan pada lahan seluas 5.000 m2 ini terdiri dari 4 studio dengan kapasitas masing-masing studio sebanyak 250 kursi penonton.[4] Semua studio yang ada dilengkapi dengan teknologi tata suara Dolby Stereo yang tergolong mutakhir pada masa itu. Untuk memasuki studio, penonton masuk melewati pintu dan menaiki tangga dengan lampu merah terlebih dahulu untuk masuk ke (bagian tengah) studio.

Selain bioskop, terdapat beberapa penyewa lain yang ikut meramaikan suasana di sini, seperti restoran Bakmi Gajah Mada, Bank Internasional Subentra, serta service center untuk produk elektronik National & Panasonic. 

Kesuksesan bioskop ini akhirnya mendorong Sudwikatmono mendirikan jaringan bioskop 21 dengan membuka bioskop baru serta mengambil-alih beberapa bioskop yang kondisinya sekarat seperti Megaria (kemudian diubah menjadi Metropole 21) dan Djakarta Theater.

Setelah berdiri beberapa tahun, gedung bioskop ini akhirnya dijual pada tahun 1991 kepada Grup Sinarmas. Oleh karena itu, bangunan bioskop ini diruntuhkan dan dibangun perkantoran Sinarmas Land Plaza Tower.[5] Meski bangunan bioskop ini sudah tidak lagi ada, nama 21 yang sekarang lebih dikenal sebagai XXI tetap berkibar dan bertahan sebagai jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Terlepas dari kontroversi mengenai tuduhan monopoli usaha (sekaligus 'membunuh' bioskop independen), tidak dapat dimungkiri bahwa keberhasilan 21 juga tidak terlepas dari keberhasilan meracik konsep bioskop yang menarik.

REFERENSI
[1] - Barker, Thomas. (2019). Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream. Hal. 146. Hong Kong: Hong Kong University Press.

[2], [3] - Majalah Tempo. (1987). Mini Mahal. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/32642/mini-mahal

[4] - Hadad, Thoriq, dkk. (1991). Zaman Keemasan Kelompok 21. Majalah Tempo. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/film/14415/zaman-keemasan-kelompok-21

[5] - Majalah Tempo. (1991). Dari Subentra ke Eka Tjipta. Majalah Tempo. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/bisnis-sepekan/14919/dari-subentra-ke-eka-tjipta

Komentar

Popular Posts